Laman

Jumat, 16 Desember 2016

Cerpen "Sebuah Janji"


                                                                      Sebuah Janji

      Malam semakin larut. Laki-laki itu masih gundah. Pikirannya masih tertuju pada istrinya. Sering kali perasaan menyesal muncul dalam dirinya ketika ia bertengkar dengan istrinya. Sudah hampir dua bulan ini tidak ada panggilan kerja, semenjak ia kembali dari daerah perantauannya di Kota Batam. Ia bingung. Bekerja sebagai kuli bangunan kadang membuatnya bosan. Sudah berkali-kali ia mencari pekerjaan tetap, namun ia masih belum mendapatkanny. Hal ini sering membuatnya stres. Itu yang menyebabkan dirinya sering bertengkar dengan istrinya, meskipun acap kali hati kecilnya berkata sebenarnya istrinya tidak salah apa-apa.
      Ia sering merasa jenuh menjalani hari-hari yang tidak menentu dalam hidupnya. Ia merasa tidak ubahnya bagai kapal yang berlayar tanpa tujuan. Limbung kesana kemari tanpa tahu arah yang akan dituju, dipermainkan ombak dan badai. Dan nyaris hancur membentur batu karang. Rumah tangganya seolah hampir karam dilamun ombak dan badai kehidupan. Untuk menenangkan pikirannya, ia sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di kedai tempat biasa mereka bermain judi dan minum-minuman keras, dan begadang hingga larut malam.
      Ia tidak menyangka suaminya kembali berubah setelah ia kembali dari daerah perantauannya di Batam. Sebelum berangkat ke Kota Batam, suaminya sudah berjanji padanya untuk tidak lagi mengulang perbuatan masa lalunya. ia berjanji untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dan pulang membawa hasil jerih payahnya. Namun ternyata, yang terjadi justru sebaliknya, tidak saja ia kembali ke kehidupan masa lalunya, ia bahkan nyaris tidak mengenal suaminya yang sekarang.
      Dirinya bisa bertahan jika suaminya tidak memberinya belanja, bahkan walaupun berminggu-minggu dengan mengandalkan pemasukan dari pekerjaannya sebagai tukang cuci keliling. Namun, ia tidak sanggup menerima kata-kata suaminya yang menusuk jantungnya. Hatinya sering kali merasa perih ketika suaminya mencecernya tanpa perasaan. Namun demikian, ia tidak akan pernah berniat untuk minta cerai pada suaminya. Ia tidak akan pernah menyesali nasibnya karena telah menikah dengannya. Ada alasan mengapa ia masih mencoba untuk bertahan sejauh yang ia mampu untuk bersabar menerima cobaan ini, ia sudah berjanji pada teman baiknya, untuk tidak pernah minta cerai pada suaminya apapun yang terjadi. Dan ia akan mencoba memegang teguh janji itu selama ia sanggup.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar