Pengertian,
Tugas, Wewenang dan Hak MPR| MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) memiliki fungsi,
tugas, wewenang dan hak serta kewajiban yang perlu dijalankan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Pertama-tama mari membahas mengenai Pengertian MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Secara Umum, Pengertian MPR
adalah lembaga tertinggi di negara Indonesia yang strukturnya dibentuk
berdasarkan pemilihan langsung legislative, bersamaan dalam penetapan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Majelis Permusyawaratan rakyat sebagai lembaga
kedaulatan rakyat memiliki susunan, kedudukan, tugas, dan wewenang yang dapat
dilihat dibawah ini..
Susunan dan
Keanggotaan MPR - MPR terdiri
atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang
menurut Pasal 2 Ayat (1). Jumlah anggota MPR 692 orang yang terdiri atas 560
orang anggota DPR dan 132 orang dari Anggota DPD. Sehingga MPR memiliki
legitimasi sangat kuat karena semua anggota MPR dipilih oleh rakyat. Masa
jabatan dari anggota MPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat
anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Keanggotan MPR diresmikan
dengan keputusan presiden. Sebelum anggota MPR memangku jabatannya, mengucapkan
sumpah/janji yang dilakukan secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua
Mahkamah Agung (MA) dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang tidak dapat
mengikut atau berhalangan mengucapkan sumpah/janji di pandu oleh pimpinan MPR.
Tugas dan
Wewenang MPR - Tugas dan
wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat terdapat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tugas dan wewenang MPR adalah sebagai
berikut...
- MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD [Pasal 3 Ayat (1)]
- MPR hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD [Pasal 3 ayat (3)].
- Dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya dalam jangka waktu enam puluh hari, MPR menyelenggarakan sidang dalam memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden [Pasal 8 Ayat (2)]
- MPR melantik presiden dan/atau wakil presiden [Pasal 3 Ayat (2)]
- Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya [Pasal 8 Ayat (1)]
- Jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya. [Pasal 8 Ayat (1)].
Hak dan
Kewajiban MPR - Anggota MPR
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap anggota MPR.
Hak dan kewajiban MPR adalah sebagai berikut...
1.
Hak-Hak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, anggota MPR mempunyai hak. Hak-hak MPR adalah sebagai berikut..
- Mengajukan usul perubahan pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945;
- Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan
- Memilih dan dipilih
- Membela diri
- Imunitas
- Protokoler
- Keuangan dan administrasi
2. Kewajiban
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, anggota MPR
mempunyai kewajiban. Kewajiban MPR adalah sebagai berikut..
- Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
- Melaksanakan UUD NRI Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan
- Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan NKRI
- Mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan
- Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah
Kedudukan
MPR - MPR adalah
lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem
Perundang-Undangan Indonesia
July Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR, merupakan salah satu wujud peraturan
perundang-undangan yang sah dan legitimate berlaku di Negara Indonesia. Bahkan
didalam hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih
tinggi dibandingkan dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. Hal ini ditegaskan
dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa, jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu sumber
hukum. Meskipun dalam Undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak
dimasukkan dalam hierarki perundang-undang, bukan berarti keberadaan TAP MPR
tidak diakui. Akan tetapi norma yang diatur dalam setiap TAP MPR sejak tahun
1966 hingga tahun 2002 tetap diakui sebagai sebuah produk hukum yang berlaku
sepanjang tidak digantikan dengan Undang-undang formal yang ditetapkan
setelahnya.
Dimasukkannya
kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan berdasarkan apa yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, hanya merupakan bentuk penegasan saja bahwa produk hukum
yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan berlaku secara sah dalam sistem
perundang-undangan Indonesia. Namun demikian, dimasukkannya kembali TAP MPR
dalam tata urutan perundang-undangan tersebut, tentu saja membawa implikasi
atau akibat hukum yang membutuhkan penjelasan rasional, agar tidak menimbulkan
tafsir hukum yang berbeda-beda.
Untuk itu,
makalah singkat ini akan memfokuskan pada 2 (dua) pokok bahasan penting terkait
keberadaan TAP MRP dalam sistem perundang-undangan Indonesia, yakni :
- Bagaimana Kedudukan TAP MPR pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?
- Apa implikasi dari diterbitkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap TAP MPR?
Anatomi
Perundang-Undangan
Apa yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan? Sampai dimana batasan peraturan
perundang-undangan? Jawaban-jawaban dari pertanyaan ini akan membangun
pemahaman pokok mengenai struktur atau anatomi peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan tentu saja berbeda dengan undang-undang ataupun
pemaknaan akan sistem hukum pada umumnya.
Menurut
Bagir Manan, Menurut Bagir Manan, banyak kalangan yang menganggap hukum,
peraturan perundang-undangan dan undang-undang adalah hal yang sama. Padahal
hal tersebut tidaklah sama. Undang-undang adalah bagian dari peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari undang-undang dan
berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya
undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum seperti hukum adat,
kebiasaan, dan hukum yurisprudensi
Perundang-undangan
yang dalam bahasa Inggris adalah legislation atau dalam bahasa Belanda wetgeving
atau gesetzgebung dalam bahasa Jerman, mempunyai pengertian sebagai
berikut :
- perundang-undangan sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; dan
- perundang-undangan sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Sedangkan
Satjipto Rahardjo, memberikan batasan mengenai perundang-undangan yang
menghasilkan peraturan, dengan cirri-ciri sebagai berikut :
- bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
- Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
- Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
Pendapat
Satjipto Rahardjo tersebut melahirkan konsekuensi, bahwa pengertian dan
definisi peraturan perundang-undangan dikunci pada aspek ketentuan yang
mengatur (regeling) dengan sifat berlaku umum, tidak kongkrit dan
ditujukan untuk publik. Hal tersebut berbeda dengan sifat yang melekat dalam
suatu keputusan (becshikking) yang bersifat kongret, individual dan berlaku
sekali waktu (einmalig). Jika ditarik dalam konteks sistem
perundang-undangan Indonesia, maka suatu produk hokum dalam setiap tingkatan
kelembagaan Negara dapat dikatakan sebagai bagian dari peraturan
perundang-undangan, jika memenuhi unsure peraturan (regeling)
sebagaimana yang disebutkan oleh Satjipto Rahardjo tersebut.
Setidaknya
ada 2 (dua) aspek yang mendasari struktur dan karakterisitik peraturan
perundang-undangan dimasing-masing Negara. Pertama, ilmu
pengetahuan yang berkembang di Negara yang bersangkutan. Kedua,
sistem ketatanegaraan yang berlaku di Negara tersebut. Jika berkaca pada
kondisi Indonesia, peraturan perundang-undangan yang kita miliki, sangat
ditentukan oleh sistem ketatanegaraan yang berlaku. Sebagai contoh, kedudukan
TAP MPR sangat ditentukan oleh pengaturan kedudukan dan kewenangan MPR sebelum
dan sesudah amandemen. Disamping itu, peraturan perundang-undangan Indonesia
juga banyak mengadopsi sistem yang berlaku di Negara-negara penganut sistem
eropa continental. Namun demikian, sifat adopsi yang dilakukan Negara kita
tidak harus menelan mentah-mentah apa yang berlaku dalam sistem Eropa
continental tersebut.
Hal ini
sejalan dengan pendapat A. Hamid S. Attamimi, yang menegaskan bahwa teori
perundang-undangan yang berkembang di Eropa Continental hendak
memodernisasikan pranata ketatanegaraan pada umumnya dan pranata
perundang-undangan pada khususnya, sehingga perlu juga dilihat, dibandingkan,
dan jika perlu ditiru sistemnya di negara lain. Akan tetapi cita dan filsafat
yang mendasarinya, nilai-nilai titik tolaknya, pengertian dan pemahaman
dasarnya, serta ruang lingkup dan tata kerja penyelenggaraannya, singkatnya
paradigma-paradigmanya, harus tetap mempertahankan apa yang digariskan oleh
Cita Negara Kekeluargaan Rakyat Indonesia, Teori Bernegara Bangsa Indonesia,
dan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia, sebagaimana
termaktub dalam Hukum Dasar kita, yaitu UUD 1945.
Kedudukan
dan Kewenangan MPR
Kedudukan
TAP MPR tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan MPR dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 pasca reformasi membawa
konsekuensi terhadap kedudukan serta kewenangan yang melekat kepada MPR. Salah
satu perubahan penting dalam UUD 1945 yang mempengaruhi kedudukan dan
kewenangan MPR adalah perubahan pada bagian bentuk dan kedaulatan Negara
khususnya pada Pasal 1 ayat (2) UUD. Sebelum amandemen disebutkan bahwa, “Kedaulatan
adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”. Sedangkan setelah amandemen dirubah menjadi, “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan
yang signifikan juga terlihat pada Pasal 3 UUD 1945. Jika sebelum amandemen MPR
diberikan kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis Besar daripada Haluan
Negara (GBHN), maka pasca amandemen kewenangan tersebut sudah tidak diberikan
lagi.
Dimasa lalu,
konsekuensi dari kedudukan dan kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-Garis
Besar daripada Haluan Negara (GBHN), mengakibatkan eksistensi TAP MPR(S)
sebagai salah satu pengaturan perundang-undangan yang memuat pengaturan. Hal
ini kemudian semakain dipertegas dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 yang menempatkan TAP MPR sebagai salah satu peraturan
perundang-undangan yang memiliki derajat di bawah UUD. Namun menurut Mahfud MD,
Pemosisian TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan dalam derajat kedua (di
bawah UUD 1945) sebenarnya hanyalah tafsiran MPRS saja, sebab UUD sendiri tidak
menyebutkan bahwa TAP MPR itu harus berisi pengaturan (regeling) dan
berbentuk peraturan perundang-undangan. Menetapkan itu sebenarnya dapat hanya diartikan sebagai
penetapan (beschikking) yang bersifat konkret, individual.
Secara umum,
implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu saja memberikan akibat perubahan
kedudukan dan kewenangan MPR pula. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi
mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR,
antara lain :
- MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai perwujudan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yakni menjadi representasi absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia. MPR pasca perubahan UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga tinggi Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
- Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cendrung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar. Secara implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya sedang dilaksanakan. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh Indonesia, supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan DPR dan DPD bukan ditangan MPR lagi.
- MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945 yang bersifat mengatur.
Sejalan
dengan point ke-3 diatas, Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR tidak bias
dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang
bersifat regeling (pengaturan). Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid,
ketetapan MPR boleh saja ada, tetapi ia bukan peraturan perundang-undangan
(regeling) melainkan sebatas penetapan (beschikking). Pandangan tersebut
kemudian diterima dan dimasukkan kedalam amandemen UUD 1945.
Kedudukan
TAP MPR
Untuk
melihat kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan Indonesia, baiknya
kita memulai dari teori piramida hukum (stufentheorie) yang diperknalkan
oleh Hans Kelsen. Teori tersebut memberikan kategorisasi atau pengelompokan
terhadap beragam norma hukum dasar yang berlaku. Teori Hans Kelsen ini kemudian
dikembangkan oleh Hans Nawiasky melalui teori yang disebut dengan “theorie
von stufenufbau der rechtsordnung”. Teori ini memberikan penjelasan susunan
norma sebagai berikut :
- Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
- Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
- Undang-undang formal (formell gesetz); dan
- Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Berdasarkan
teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi mencoba mengaplikasikannya
kedalam struktur hierarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, maka tata urutan perundang-undangan di
Indonesi adalah sebagai berikut :
- Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
- Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
- Formell gesetz : Undang-Undang.
- Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Secara garis
besar, TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara (staatsgrundgesetz)
atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Akan tetapi kategorisasi
yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan disaat kedudukan MPR masih sebagai
lembaga tertinggi Negara atau sebelum perubahan UUD 1945. Kedudukan TAP MPR
sebelum perubahan UUD, memang menjadi salah satu produk hukum yang berada
setingkat dengan UUD. Hal tersebut mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR
sebagai lembaga perwujudan kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan
bahwa, “Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan
negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali
dalam 5 tahun Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala
aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya
dipakai untuk di kemudian hari”.
Dalam
periode era reformasi, TAP MPR dianggap sebagai perpanjangan tangan dari
kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau
meligitimasi kepentingan kekuasaan. Untuk itu kemudian muncul istilah “sunset
clouse”, yakni upaya sedikit demi sedikit untuk menghapus TAP MPR sebagai
sumber hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Ini juga yang mendasari
proyek evaluasi yang disertai penghapusan secara besar-besaran terhadap TAP
MPR(S) ditahun 2003 melalui Sidang Umum (SU) MPR. Mahfud MD menyebut agenda ini
sebagai “Sapu Jagat”, yakni TAP MPR yang menyapu semua TAP MPR(S) yang pernah
ada untuk diberi status baru.
Puncak dari
agenda “sunset clouse” dan “sapu jagat” ini adalah diterbitkannya
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber
hukum. Namun apakah tidak dimasukkannya TAP MRP dalam undang-undang tersebut,
berarti roh dan keberadaan TAP MPR benar-benar hilang sama sekali dalam sistem
perundang-undangan Indonesia? Tidak. Eksistensi TAP MPR seharusnya tetap diakui
meskipun dengan sifat dan norma yang berbeda.
Mengutip
pendapat Mahfud MD, bahwa TAP MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh
MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat beschikking (kongret
dan individual) seperti TAP tentang pengangkatan Presiden, TAP tentang
pemberhentian Presiden dan sebagainya. Bahkan TAP MPR tetap dijadikan sebagai
sumber hokum yang bersifat materiil. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahfud
MD, bahwa sebagai sumber hokum, TAP MPR dapat dijadikan sebagai sumber hokum
materiil (bahan pembuatan hokum), namun bukan sumber hokum formal (peraturan
perundang-undangan). Sebagai sumber hokum materiil, TAP MPR bisa menjadi bahan
hokum seperti halnya nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat, keadaan social dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya
bangsa dan lain-lain.
Implikasi
Hukum
Pasca
diterbitkannya Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka keberadaan TAP MPR kembali menjadi wacana (diskursus)
hangat disemua kalangan, khususnya diantara para ahli hukum tata negara dan
perundang-undangan. Implikasi hukum dimasukkannnya kembali TAP MPR dalam
hierarki perundang-undangan, jelas membawa konsekuensi-konsekuensi logis dalam
penataaan sistem hukum Indonesia, baik norma, kedudukan, maupun ruang pengujian
akibat pertentangan antara sesama produk perundang-undangan lainnya. Keberadaan
Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex-officio)
menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini UU/Perpu, PP.
Perpres, dan Perda.
Silang
pendapatpun muncul diantara pengamat hukum ketatanegaraan dan
perundang-undangan. Ada yang menyebutkan bahwa keberadaaan TAP MPR dalam
hierarki perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Undang-udang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah memberikan
ruang bagi MPR untuk kembali merumuskan kembali ketentuan yang mengikat publik.
Padahal dalam Sidang Umum MPR tahun 2003, telah diputuskan bahwa TAP MPR tidak
lagi mengatur keluar (mengikat publik), namun hanya berlaku bagi intern MPR.
Dalam siding umum MPR di tahun 2003 tersebut ditegaskan bahwa, ketentuan yang
mengikat publik, harus diimplementasikan melalui produk Undang-undang. Namun
hal ini sudah dijawab pada bagian pembahasan sebelumnya, bahwa MPR kini tidak
memiliki lagi kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang bersifat mengatur
(regeling). Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang melatar belakanginya, Pertama,
perubahan UUD 1945 membawa konsekunsi kewenangan MPR yang tidak lagi dapat
membuat ketentuan yang mengatur, kecuali yang bersifat kedalam organ MPR
sendiri. Kedua, MPR merupakan lembaga yang dapat dikatakan exist
ketika menjalankan fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UUD. Dan
kewenangan untuk membentuk UU, tidak lagi tertuang dalam UUD pasca amandemen.
Ada 3 (tiga)
pertanyaan penting terkait dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki
peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertama,
sesungguhnya apa roh atau “asbabun nuzul” dimasukkannya kembali TAP MPR
dalam hierarki perundang-undangan? Kedua, TAP MPR yang manakah
yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Ketiga, bagaimana
konsekuensi pengujian materi atau norma dalam TAP MPR yang bertentangan dengan
peraturan perundanga-undangan lainnya dan sebaliknya?
Mengapa TAP
MPR kembali dimasukkan kedalam hierarki perundang-undangan yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan? Haru dipahami bahwa TAP MPR masih diakui sebagai sumber
hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Hal ini diperkuat oleh
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada bagian Aturan
Tambahan Pasal I yang menyatakan bahwa, “Majelis Permusyawaratan Rakyat
ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun
2003”.
TAP MPR yang
dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui
penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah
diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966
hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.
Dalam TAP
MPR Nomor I/MPR/2003 TAP MPR yang ada, diberikan status hukum baru yang
dikelompokkan ke dalam 6 (enam) pasal, antara lain :
- Pasal 1 tentang Ketetapan MPR/MPRS yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan)
- Pasal 2 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan)
- Pasal 3 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004 (8 Ketetapan)
- Pasal 4 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya UU (11 Ketetapan)
- Pasal 5 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkannya peraturan tata tertib yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil pemilihan umum tahun 2004 (5 Ketetapan)
- Pasal 6 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik Karena bersifat final (enimalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. (104 Ketetapan)
Berdasarkan
pengelompokan di atas, maka TAP MPR yang masih dianggap berlaku tertuang dalam
Pasal 2 dan Pasal 4, dengan total sebanyak 13 TAP MPR yang masih berlaku. TAP
MPR yang masih berlaku tersebut, adalah :
- Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
- Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
- Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
- Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. (dalam perkembangan terakhir telah terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan)
- Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
- Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam NKRI.
- Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia.
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
- Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
- Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
- Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan Sumber Daya Alam.
Ketiga belas
TAP MPR inilah yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b
Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dengan pengelompokan 11 TAP MPR yang sudah tidak berlaku
akibat telah dibentukknya UU (Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003) dan 3 TAP MPR
yang masih berlaku hingga saat ini (Pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003). Adapun
Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur, secara
otomatis tidak berlaku lagi akibat norma yang diatur didalamnya sudah
terlaksana. Dengan demikian, sisa 2 TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini
akibat status hukumnya yang tidak dicabut atau diganti melalui UU. Pertanyaan kemudian
muncul, apakah diluar 2 TAP MPR tersebut, TAP MPR dapat dinyatakan berlaku
kembali dan dijadikan sebagai sumber hukum formill? Secara logika hukum, hal
tersebut mustahil mengingat tidak mungkin keberlakukan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi justru dilegitimas atau dibuat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini Undang-udang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Akibat
dimasukkannya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka muncul
persoalan dalam hal pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan
lainnya. Bagaimana jika TAP MPR bertentangan dengan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945? Dan bagaimana pula jika terdapat UU yang bertentangan dengan
TAP MPR? Jika merunut kepada sistem kekuasaan kehakiman Indonesia dewasa ini,
uji materi dibebankan kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi kewenangan
Mahkamah Konsitusi sebatas uji materi UU terhadap UUD. Tidak ada ketentuan
khusus yang mengatur tata cara pengujian TAP MPR terhadap UUD atapun UU
terhadap TAP MPR. Mahkamah Konstitusi tidak boleh serta merta melakukan
pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi melakukan upaya hokum
progresif seperti yang dilakukan selama ini.
Akan tetapi,
jika merunut kepada TAP MPR Nomor I/MPR/2003 khususnya dalam ketentuan Pasal 4,
maka Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat melakukan pengujian terhadap TAP MPR.
Hal tersebut mengingat ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, secara
tersirat telah menyamakan kedudukan TAP MPR dengan produk Undang-undang yang
diharuskan untuk dibuat sebagai pengganti norma yang diatur dalam TAP MPR
sebelumnya. Kecuali TAP MPR yang disebutkan dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor
I/MPR/2003, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengujinya sebab ketentuan
Pasal 2 tersebut tidak mensyaratkan perubahan atau pencabutan melalui
Undang-undang sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 4.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedudukan dan kewenangan MPR sebelum
dan sesudah perubahan UUD 1945 sangatlan berbeda. Hal tersebut membawa
konsekuensi bahwa MPR dapat dikatakan eksist, ketika menjalankan kewenangan
yang diberikan oleh UUD. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga perwakilan utuh,
akan tetapi cendrung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan
anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante yang bertugas
merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
2. Dimasukkannya TAP MPR ke dalam
hierarki perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf
b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, memberikan implikasi hukum, yakni diharuskannya TAP MPR
sebagai rujukan bagi peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya, baik
UU/Perpu, PP, Perpres ataupun Perda.
3. TAP MPR yang dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, adalah TAP MPR yang merujuk hasil Sidang Umum MPR tahun
2003 yang melahirkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003, khususnya pada pasal 2 dan pasal
4.
4. TAP MPR tetap saja boleh ada dan
dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat beschikking
(kongret dan individual) seperti TAP tentang pengangkatan Presiden, TAP tentang
pemberhentian Presiden dan sebagainya.
5. TAP MPR dapat dijadikan sebagai
sumber hokum materiil (bahan pembuatan hokum), namun bukan sumber hokum formal
(peraturan perundang-undangan). Sebagai sumber hokum materiil, TAP MPR bisa
menjadi bahan hokum seperti halnya nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat, keadaan social dan ekonomi masyarakat, warisan
sejarah dan budaya bangsa dan lainnya.
6. Pengujian terhadap TAP MPR terhadap
UUD maupun UU terhadap TAP MPR sebagai konsekuensi hierarki perundang-undangan
yang diatur dalam 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memiliki landasan mekanisme
atau ketentuan pengujian. Mahkamah Konstitusi tidak serta merta dapat menguji
TAP MPR, kecuali TAP MPR yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor
I/MPR/2003, yang dipersamakan dengan produk Undang-undang
Yakin anda selalu tidak hoki?? Kami tantang anda yang merasa selalu tidak hoki... Kami yakin tidak ada orang yang tidak hoki...disini akan kami adu hoki anda dengan hoki pemain lain...
BalasHapus==DONACOPOKER=
Kami yakin anda lebih hoki bersama kami..!! sudah terbukti....
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662