2.1 Perspektif
a.
Perspektif
Dalam
buku (2014), Moralitas Hukum, halaman
1 menjelaskan bahwa, Teori tentang
moralitas hukum, termasuk dalam karya ini tidak harus beranjak dari asumsi
antropologis tentang kebebasan yang di miliki manusia, berikut penggunaannya.
Hampir semua teori dan doktrin modern, percya bahwa manusia secara kodrati
menenteng kebebasan.Namun karena kebebasan sebagai itu pula, manusia menjadi
makhluk yang tidak aman. Walaupun pada hakikat nya manusia merupakan makhluk
sosial, namun menurut lenski, itu tidak berarti bahwa seorang individu dalam
kehidupan sosial sama sekali mengabaikan kepentingan dirinya sendiri.Justru
menurut lenski, apabila orang di konfrontasikan dengan keputusan yang memaksa
untuk harus memilih antara kepentingan sendri,atau kelompoknya, atau
kepentingan orang lain menyangkut tawaran – tawaran terbatas maka seorang
individu hampir memilih kepentingan nya sendri.Kata lenski, sebabnya adalah
karena sebagian besar tawaran itu bersifat langka, dan bahwa setiap orang tidak
sama dalam kemampuannya yang di perlukan untuk merebut kesempatan – kesempatan
yang tersedia.
Menurut Hobbes, di tentukan
oleh nafsu – nafsu dan ketamakan yang berwujud diri dalam upaya saling
menguasai. Namun kata Hobbes, meski kecendrungan ingin menguasai begitu kuat
dalam dalam diri seorang individu, individu itu juga pada dasarnya takut mati
dan butuh keselamatan. Oleh karena itu, mereka butuh kehadiran negara hukum.Pengandaian
utama dalam teori Hobbes adalah, bahwa setiap orang cendrung melakukan
kesalahan, dan karena itu tingkah laku yang benar dan tidak merugikan orang lain, tidak dapat di serahkan kepada pertimbangan
pribadi tiap orang, tetapi perlu di atur dengan peraturan hukum positif.Hal ini
bisa dilakukan lewat pembentukan Negara dan hukum yang melindungi manusia dari
hakikat nafsu dan ketamakan mereka sendiri.Itulah fungsi hokum bagi manusia
versi Hobbes.
Bagi Spinoza, Negara dan hukum
merupakan konsekuensi dari adanya peralihan dari kehidupan alami ke kehidupan
yang serba terikat oleh peraturan perundangan.Untuk itulah manusia membutuhkan
/ membentuk Negara dan hukum.Jadi hukum fungsi untuk merintangi nafsu manusia
dan mensosialisir mereka dalam kepatuhan.Prinsip – prinsip moralitas hukum. Pertama, hukum harus menjadi milik semua
orang, menuju baik. Kedua, karena
milik hukum semua orang, maka hukum tidak boleh di monopoli individu atau
kelompok tertentu.Ketiga,panduan
publik itu harus bener – bener menjadi ruang publik dimana
kebeneran,kebaikan,dan keadilan di bela dan di pertahanan. Keempat,sebagai panduan publik, hukum harus di bentuk dan di rawat
menurut nilai – nilai publik.Kelima,norma
hukum harus lahir dari persetujuan bersama atas dasar komunikasi tanpa paksaan
antar panduan public itu. Keenam,para
penjaga dan pegawai panduan public itu, harus pula tunduk pada nila – nilai dan
norma – norma public yang melekat pada jabatan dan tugas yang diembannya.ketujuh,segala pengkhianatan terhadap
kewajiban merawat panduan public tersebut, harus di anggap sebagai tindakan
tercela bagi kepentingan public. Kedelapan,untuk
mencegah pengkhianatan itulah, maka perlu di tumbuhkan moral habit dalam berhukum.
b. Pesona Hukum dalam Jiwa
Klasik Thomas Aquinas
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman 5 menjelaskan
bahwa,Ajaran hukum kodrat Thomas Aquinas, adalah ajaran tentang pendasaran
hukum pada etika. Artinya, hukum harus memiliki fondasi etika. Menurut Thomas,
realisasi kebahgiaan dan kebaikan,akan menjadi pemenuhan dan penyempurnaan
kodrat manusia itu sendiri.Hal ini dapat terjadi karena tiga hal. Pertama, penguasa pemaksaan hukum yang
tidak membawa kesejahtraan umum, melainkan hanya melayani kepentingan
penguasaannya sendiri. Kedua,pembuatan
hukum melampaui kewenangan yang di milikinya sebagai legislator. ketiga hukum di terapkan pada
masyarakat tidak sama. Bagi Thomas, hukum adalah perintah akal budi demi
kebaikan umum dan dipromulgasikan oleh mereka yang memiliki kewenangan membina
masyarakat. Dalam perwujudannya,hukum kodrat memiliki dua bentuk : (1).
Kebijaksanaan atau ke arifan yang perlu untuk menjalani hidup dengan akal
praktis. (2). Aequitas (equity) atau
epiekeia, yakni keharusan untuk menyelamai roh atau semangat di balik rumusan
harfiah atau aturan.Hukum kodrat versi Thomas, bukanlah suatu system pemikiran
yang tertutup dan statis.
Hukum
kodrat hanya menuntut bahwa kita bertindak dalam hukum atau bidang lainnya
dengan kemanusiaan normatife atau tao
dari kemanusiaan.Oleh karena itu,
pembuatan,perumusan,dan pelaksanaan hukum harus tetap terjaga dalam koridor bonum commune.
2.2 Hukum Butuh Moralitas
a.
Butuh
Moralitas
Dalam
buku (2014), Moralitas Hukum, halaman
12 menjelaskan bahwa,hukum memerlukan moralitas karena ia adalah alat keadaban manusia . Sebagai alat,ia
bukan tujuan pada dirinya sendiri. Ia melayani manusia sebagai manusia, bukan melayani
sekumpulan cacing tanah.Meski tidak harus berubah menjadi etika, orang masih
mengharapkan sesuatu yang bernilai dari hukum.Minimal, dalam konteks dalam
kaidah manusia, hukum tidak melangkahi kewajaran akal sehat. Tidak menjungkir –
balikan norma – norma moral. Tidak menegasi prinsip – prinsip keadaban. Tanpa
harus kembali keajaran Socrates atau Plato, idealisme nilai – nilai dalam
hukum masih merupakan suatu yang fundamental.Kant-yang ajarannya menjadi induk
teori Kalsen-justru menekankan pentingnya martabat manusia yang tidak bisa di
tawar-tawar. Salah satu patokan imperative kategorisnya Kant, adalah keharusan
memperlakukan manusia sebagai subyek, dan tidak boleh menjadi obyek, Radbruch
dan Luijpen menekankan pentingnya keadilan.
b.
The
Art Of Values
Dalam
buku (2014), Moralitas Hukum, halaman
16 menjelaskan bahwa,hukum adalah alat manusia yang sarat nilai. Secara tidak
langsung ingin mengatakan bahwa hukum adalah the art of values. Seni mempertahankan nilai – nilai dan/atau
prinsip – prinsip . Empat alasan
mengapa hukum harus menjadi the art of
values yaitu : Pertama, hukum adalah kaidah. Kedua,
hukum mengatur manusia dan nasib manusia.Ketiga, hukum
merupakan instrument keadilan.Terakhir adalah
: hukum mudah dimanipulasi, Maka
hukum sebagai the art of values/principle,
tidak akan gagabah mengabil tindakan teknis
belaka. Dalam konteks sebagai the art of values/principles, hukum
tidak tampil sebagai aturan – aturan legal semata, tetapi justru sebagai
tatanan solutif bagi tujuan yang lebih besar, yakni bonum commune. Hukum dalam konteks the art of values, pertama – tama adalah suatu kategoris praktis.
Hukum bukanlah semata-mata teori atau doktrin,melainkan praktis yang selalu di
perjuangkan.
2.3 Eksistensi Dalam Hukum
Dalam
buku (2014), Moralitas Hukum, halaman
25 menjelaskan bahwa,Eksistensi moral dalam hukum, tetap di
rasakan sebagai kebutuhan hingga saat ini. Tiap tragedi kemanusiaan,selalu
membutuhkan solusi hukum yang bermoral. Dalam buku Magna Charta,adalah sikap moral. Pengadilan nurenberg, adalah sikap
moral.Dengan demikian, ingin menegaskan bahwa moralitas perlu hadir pada semua
faset hukum.
1.
John
Austin
Austin
memunculkan ajaran tentang law as command
of sovereign. Doktrin Austin tentang perintah,membuat
orang sulit membedakan antara perintah hukum dengan perintah seorang penodong. Austin
sangat faham dengan cogito ergo sum Descartes.
Austin menggolongkan lagi dalam dua kategori yaitu:(1). Hukum fositif, yaitu hukum yang di buat oleh pembuat hukum (
penguasa yang berdaulat ). (2). Moralitas
positif , yakni hukum yang dibuat oleh
kelompok atau organisasi non Negara yang berlaku bagi kelompok
/organisasi yang bersangkutan,seperti peraturan dalam perkumpulan
kesukuan,keagamaan,olahraga dan lain-lain. Metode Austin memisah-misahkan hukum
positif dari moral transenden dan moral positifitulah yang menyebabkan dia disebut
sebagai tokoh analytical jurisprudence . Dalam konteks ini, Austin
merumuskan sebagai, commands backed by
threat of sanctions from a soverign on whom people have a habit of obedience. Secara
analitis, hukum memiliki empat elemen inti, yaitu : (1). Perintah (commands), (2). Dalam penguasa daulat (sovereign), (3). Pada mereka yang biasa
menaati (habit of obedience), (4).
Tersedia sanksi bagi yang tidak taat (sanctions).Jadi,
dapat dikatakan, penolakan Austin terhadap moral hukum kodrat, lebih bersifat
alasan-alasan epistemic ketimbang sikap anti moralitas.Hukum positif bagi
Augusti, adalah aturan buatan manusia, bukan moral adikodrati. Oleh karena itu,
kedua nya tidak bisa di satukan. Itulah konteks epistemic penolakan Austin
terhadap moralitas.
2.
H.L.A.
Hart
Kritik
terhadap Austin, datang dari Herbert Lionel Adolphus Hart (H.L.A. Hart ). Hart
melakukan revisi terhadap ajaran Austin menyangkut dua hal, yakni, mengenai
tesis imperatif perintah bersanksi sebagai hakikat hukum,dan mengenai pemisahan
anatara hukum dan moral.
Mengenai
pemisahan hukum dan moral, Hart setuju dengan Austin. Meski demikian, Hart
memberi semacam cacatan pinggir pada pemikiran Austin tersebut. Bagi Hart,
walaupun hukum moral berbeda, namun keduanya saling terkait cakup erat. Bahkan
menurut Hart, moralitas merupakan syarat minimum hukum.
Ada
dua gugus masalah yang menyebabkan moral menjadi syarat minimum hukum. Gugus
masalah yang pertama, adalah menyangkut berbagai fakta natural dalam kehidupan
manusia. Gugus masalah kedua, adalah terkait keterbatasan yang terdapat dalam
hukum itu sendiri. Langkah diskresional Hart inilah yang kemudian memicu debat
panjang dengan Ronald Dworkin.Hart menyutujui pendapat Austin tentang
keterpisahan hukum dan moralitas,tetapi menolak ketertutupan mutlak terhadap
moral. Oleh karena itu, keterpisahan anatar hukum dan moral,lebih pada persoalan
ukuran validitas hukum.Menurut Hart,hukum harus di lihat sebagai system aturan-aturan. Maka sisitem hukum
mempunyai dua jenis aturan, yaitu aturan
primer (prmary rules ) dan aturan sekunder (secundery rules ). Aturan primer,adalah aturan yang memberikan hak
atau memaksaan kewajiban terhadap anggota komunutas. Sedangkan aturan sekunder
adalah aturan yang menetapkan validitas aturan primer.
3.
Lon Fuller
Dalam
buku Fuller menyebut dua jenis moralitas hukum, yakni moralitas internal dan moralitas eksternal. Moralitas eksternal,atau the external morality of law, adalah
masalah yang terkait isu-isu keadilan, hak asasi manusia,soladaritas dan
simpati pada kaum tertindas. Sedangkan the
internal morality of law , berbicara tentang hukum-hukum yang baik.Tentang
moralitas internal , ada delapan
prinsip yang diajukan Fuller. Pertama, suatu
system harus mengandung aturan-aturan standart, dan tidak boleh memuat atau
terdiri keputusan-keputusan yang hanya bersifat ad hoc. Kedua, aturan yang telah dibuat, harus di ummkan agar semua
orang mengetahui norma-norma tersebut, ketiga,
tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, sebab menyebabkan aturan yang
berlaku surut akan merusak integritas aturan yang diajukan untuk berlaku untuk
waktu yang akan datang. Keempat, sebuah
aturan harus di susun dalam rumusan yang dapat mengerti atau mudah di mengerti.
Kelima, suatu system hukum tidak
boleh mengandung aturan-aturan yang saling kontradiksi satu sama lain.
Keenam,
aturan-aturan tidak boleh mengandung tuntunan yang melibih yang dapat dlakukan.
Ketujuh, tidak boleh ada kebiasaan
sering mengubah aturan, karena menyebabkan orang kehilangan orientasi. Kedelapan, harus ada kecocokan anatar
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari atau dalam penegakan
nya dalam kasus nyata.
Delapan
prinsip dasar yang amat menentukan validitas dan manfaat bagi publik yaitu :Pertama,keharusan
agar semua hukum mesti prosfektif terbuka dan jelas.Kedua,hukum harus relative stabil dan tidak mudah berubah.Ketiga, pembuatan aturan khusus
(perintah hukum tertentu ) harus dibimbing oleh aturan-aturan umum yang
jelas,terbuka, dan stabil. Keempat,terjaminnya
indepedensi peradilan. Kelima,terjaminnya
prinsip-prinsip keadilan. keenam,
pengadilan harus memiliki kekuasaan meninjau atas pelaksanaan kekuasaan
lembaga-lembaga lain. Ketujuh,
pegadilan harus mudah diakses. Kedelapan,tindakan-tindakan
pengucualian/diskresional oleh institusi penegak hukum sejauh mungkin di
hindari.
Tidak
jauh berada dengan Fuller dan Raz, Peczenik dengan latar belakang tardisi
continental, menyebut sejumlah cirri yang menandai hukum yang berbobot . cirri dimaksud adalah ; (1).
Prinsip legalitas (keputusan hukum harus di dasarkan pada hukum ), (2). Teks
hukum harus jelas dan tepat , (3). Larangan berlaku surut hukum pidana. (4).
Larangan unuk menggunaka analogi dalam menerapkan sanksi dalam hukum
pidana,(5). Penuntut harus memberikan alasan yang tepat mengenai
tuntutannya,(6). Prinsip objektivitas (kasus yang sama harus di perlakukan dan
di putuskan dengan sama ).(7). Larangan-larangan yang sewenang-wenangnya dalam
mengambil keputusan keadilan.(8). Harus pakta-fakta kasus untuk di jelaskan
dengan tepat.Moralitas aturan model Fuller,Raz, dan Peczenik, adalah satu hal.
Tapi moralitas perilaku,adalah hal lain. Maka moralitas hukum (sebagaimana juga
dimaksud karya ini ), tidak hanya moralitas aturan,tetapi juga moralitas
perlaku dalam hukum.
4.
Ronald
Dworkin
Jika
dalam teori Fuller,Raz, dan Peczenik,moralitas hukum terdapat pada system
aturan yang baik. Maka moralitas hukum dalam teori Ronald Dworkin, terdapat
dalam seni penapsiran hukum. Menurut
Dworkin ada tiga nilai yang sangat berkaitan dengan hukum sebagai integritas
yaitu, juistice, fairness and procedural
due process. Nilai
fairness, adalah prinsip-prinsip yang
terkait dengan penghargaan terhadap hak rakyat sebagai pembuat hukum lewat
wakil-wakilnya di perlemen. Nilai justice,
lebih menekankan pada kualitas akhir suatu keputusan public ( dalam hal ini
keputusan hakim ).Sedangkan nilai procedural
due processmenuntut untuk menghormati prosedur-prosedur hukum yang sudah
ada, baik saat menetapkan aturan-aturan baru,maupun saat hukum diterapkan pada
kasus-kasus particular.Hukum sebagai integrasi, menurut Dworkin, adalah kesatuan
tiga prinsip tersebut. Bagi Dworkin, prinsip-prinsip moralitas tidak bisa
diabaikan dalam pengambilan keputusan hukum. Dengan demikian, bagi Dworkin, hukum
bukan hanya system aturan-aturan semata, seperti dipahami Hart.Dworkin terkenal
sebagai pengkritik pisitivisme hukum Hart yang paling gigih. Dworkin menolak
adanya separasi anatara moralitas dan hukum .Pada hukum bermaksud agar hak-hak
moral terjaga. Jadi tidak mungkin di pisahkan anatara hukum dan moralitas.
5.
W.A.M.
Lujipen
Menurut
Lujipen,keadilan merupakan dasar dan norma kritis dalam hukum . ini mutlak
perlu,karena kalau tidak,hidup bersama terjamin tidak akan terjamin.Lujipen
menuntut supaya norma-norma keadilan diindahkan dalam bentuk hukum. Bila
tidak,maka hukum yang sebenarnya tidak ada. Hart menempuh jalan diskresi kuat , sedangkan Dworkin
menempuh jalan diskresi lunak. Bagi
Hart, saat menghadapi kasus-kasus sulit, utamanya ketika aturan-aturan hukum
tidak tersedia,maka hakim boleh menempuh diskresi dengan membuat atau
menempukan norma baru dalam luar system aturan. Sedangkan bagi Dworkin saat
menghadapi kasus-kasus sulit, hakim tidak perlu merujuk pada standart-standart
non legal, tetapi menempuh penafsiran konstruktif seperti telah di sebut di
atas. Dworkin percaya, hanya ada satu
jawaban yag benar bagi setiap persoalan hukm dan menjadi tugas hakim untuk
menemukannya. Jawaban ini “benar” dalam arti sesuai dengan putusan
institusional dan konstitusiaonal dari komunitas yang bersangkutan dan
sekaligus juga terjustifikasi secara moral. Dengan kata lain, jawaban tersebut
“benar” baik secara legal maupun moral. Tesis “jawaban benar” ini adalah
pandangan Dworkin yang dinilai paling kontrovesional.
2.4 Moralitas Hukum Sebagai Pemandu Keadaban
Dalam
buku (2014), Moralitas Hukum, halaman
63 menjelaskan bahwa,Ide
mengenai hukum sebagai pemandu keadaban,
bukanlah hal baru. Gagasan itu telah muncul sejak orang berpikir tentang logos yang diyakini sebagai “ jalan
terang” menuju keraturan (nomos). Apa
yang di perjuangkan disitu, adalah kehendak hidup dalam suasana beradab. Dari
sini muncul, Gagasan tentang fungsi kebudayan dari hukum, yakni mengoreksi dan
memfasilitas. Funsi control dan funsgi perubahan .
1. “Mission Sacree”
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman 63
menjelaskan bahwa,tidak
ada hidup bersama yang beradab dan adil – yang dapat berkembang atau bertahan –
tanpa hukum. Hukum menjadi pondasi sekaligus perekat, yang mencegah masyarakat
dari disintregrasi, yaitu hancur dalam anarkisme.
2. Misi Keadaban Dalam
Beberapa Teori
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman 68menjelaskan
bahwa,Trio Fulsuf Athena,
Scorates, Plato, dan Artoteles, berbicara tentang keutamaan, yang manunjukan
dalam keluhuran, jiwa, hidup terhormat, tidak menyakiti orang lain,cinta
kebenaran, respek pada keadilan,berlaku jujur, utamakan kepentingan umum,dan
respek pada hukum. Menurut Socrates, tiap peraturan yang dibuat oleh Negara
harus obyektif dan berisi kebajikan. Hukum diarahkan untuk tidak boleh
melanggengkan kepentingan-kepentingan hedonis individual dan penguasa.
Sebaliknya hukum harus mempromosi summum
bonum/ keutamaan. Hanya dengan begitu, maka eudaimonia bisa tercipta. Bagi Socrates, “ketaatan pada hukum “
merupakan harga mati yang wajib di lakukan oleh Negara/ individu.
Menurut
Socrates, Negara dan individu
harus menyadari sungguh-sungguh kewajiban mutlak tersebut. Oleh karena itu,
baik individu maupun Negara harus tau hakikat mereka masing-masing. Gnooti Seauton !. begitu kata
Scorates.Menurut Socrates, hakikat Negara bukanlah hakikat organisasi yang
dibuat untuk kepentingan diri sendiri,melainkan merupakan susunan obyektif.
Sedangkan individu sebagai manusia, menurut Socrates, adalah makhluk berbudi
yang mengerti tentang yang baik dan yang buruk. Tidak hanya itu, manusia juga
merupakan warga Negara / masyarakat yang harus bertanggung jawab mempertahankan
keberlangsungan eksistensi Negara/masyarakat itu.Ajaran Socrates tentang arête sebagai jalan untuk mempertahankan
moral baku digantungkan pada komitmen.Bagi Plato, adalah perlu nya kehadiran philosopher-Kings sebagai “guru moral” .
menurut Plato semua orang bisa menangkap soal-soal keutamaan.Konsep St.
Agustinus tentang nilai-nilai deligere (yakni
di hargai dan cinta ), dan delicto
proximi (mengasihi sesama ) sebagai unsur hukum, adalah juga misi
peradaban. Bagi Agustinus, kehidupan yang damai, harus di jamin lewat tatanan
hukum yang didominasi oleh tujuan perdamian. Tujuan akhir dari garis perjuangan
idealisme tersebut, adalah terwujudnya”masyarakat cinta kasih” sebagai jalan
menuju tercapainya hidup bersama yang damai. Hal yang sama, berlaku dalam
konsep Thomas Aquinas tentang keadila hukum . konsep ini ia munculkan
melawan system hukum yang melegalkan faham patriotisme dalam kekuasaan
berdasarkan hak milik perdata:every man
have a lord.Konsep Radbruch tentang keadilan. ia maknai keadilan dalam
makna yang sama dengan memajukan kebaikan
manusia/nilai-nilai kemanusiaan . Radbruch beranjak dari posisi hukum
sebagai bagian kulturwissenchtf.
Bagi
Radbruch, yang mengikuti Lask, kebudayaan itu adalah nilai-nilai manusia. Bagi pengetahuan,seni,
moralitas,maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan.Bagi Radbruch, mengembang
nilai keadilan bagi kehidupan kontret manusia. Jadi bagi Radbruch, keadilan
merupakan titik sentral dalam hukum. Oleh karena itu, bagi Radbruch fungsi
kepastian hukum,tiada lain adalah memastikan
bahwa hukum “yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan
manusia”, benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.Teori Radbruch
tidak mengijikan adanya pertentangan antara keadilam,kepastian,dan kemenfaatan,seperti
yang terjadi dalam praktik selama ini. Pemikiran terakhir yang patut disinggung
adalah pemikiran Roscoe Pound.
Konsep Pound tentang law as a tool of social engineering merupakan
konsep yang terkait dengan idealismenya mewujudkan
masyarakat beradab yang produktif,minim koflik,dan tidak boros”. Jadi point
penting pemikiran Pound adalah, pemanfaatan hukum sebagai sarana menuju tujuan
sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial melalui penataan secara
proporsional sebagai kepentingan (umum, sosial, dan individu) agar tidak
menimbulkan konflik dan pemborosan dalam masyarakat .Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interestbalancing, yang terpenting
adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke
arah yang lebih maju.
2.5 Moralitas Hukum Sebagai Bonum Commune
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman 77menjelaskan bahwa, hukum di tugaskan
mewujudkan bonum Commune. Mewujudkan
kebaikan bersama. Tugas pertama dan terpenting pengemban hukum, adalah,
mengindenfikasi bonum commune, dan
menerjemahkan menjadi program-program hukum (baik dalam rangka legislasi, maupun
yudikasi dan eksekusi).
a. Pertahankan Hukum
Sebagai Kaidah Publik
Dalam
buku (2014), Moralitas Hukum, halaman
78menjelaskan bahwa, Kaidah
publikadalah kaidah untuk ruang publik. Ruang dimana keadilan dan fairness dibela dan di pertahankan.
Ruang ini adalah ruang bersama setiap orang tanpa perbedaan ras, jenis
kelamin,ideologi, suku,agama, dan kepercayaan bahkan warga Negara. Sebagai
kaidah public, hukum
menjadi tatanan dalam ruang public (public
sphere). Dasar hukum dalam publik
sphere ialah persamaan hak dan kewajiban diantara semua warga Negara. Ruang
publik merupakan tempat dimana persamaan,keadilan,dan kebaikan bersama di
pertahankan dan dibela.Dalam kenyataan, ruang publik dan ruang privat sering di
campur-campur adukan secara tidak proporsional, sehingga memunculkan
ketidakadilan.
b. Jalankan Hukum Sebagai
Praksis
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman 82menjelaskan
bahwa, Praksis
adalah menyadari tanggungjawab, menunaikan
tugas dengan tulus dan cerdas,menyelami kebutuhan sosial, dan memperjuangkan
kewujudannya dengan mempergunakan hukum yang ada digenggamnya. Maka hukum
sebagai praksis, tidak mengijinkan
tatanan hukum bermetmorfose menjadi teknik. Hukum sebagai praksis, menghendaki
idealisme dan tindakan untuk mengoreksi yang diperjuangkan terus-menerus .
c. Kelola Hukum Secara
Akuntabel
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman 82menjelaskan
bahwa, Hukum merupakan
bangunan sIstem yang relative tertutup. Sedangkan akuntabilitas adalah,
pertanggungjawaban yang berbobot. Akuntabilitas, pernting menjadi keutamaan,
juga karena semua faset hukum penuh godaan. Dalam proses legislasi , godaan
tampil dalam ragam bentuk. Maka adanya akuntabilitas, membuat para penegak
harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu tindakan
diambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, dan dengan cara
bagaimana tindakan tersebut akan diterapkan. Jika tiap langkah pada setiap
tahap dalam proses hukum diuji akuntabilitas. Dengan mendeteksi secara ketat
akuntabilitas tiap langkah yang diambil,maka tidak saja mutu kerja aparat bisa
terjamin , tetapi juga peluang manipulasi menjadi sangat kecil.
d. Komitmen Pada Res Publica
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman 91 menjelaskan bahwa, Moralitas ini penting
bagi pengemban hukum, baik dalam konteks legislasi,maupun pada faset yudikasi
dan eksekusi. Hampir semua teori tentang Negara yang dibangun atas asumsi social contact mengerucut pada satu
tesis, bahwa Negara merupakan pelembagaan kepentingan umum, dan tidak ada
pendasaran filosofi apapun menyangkut Negara dan hukum khususnya dalam Negara
modern saat ini yang tidak
menjadikan pelayanan kepentingan sebagai rasion
d’etre kehadiran Negara dan hukum. Negara dianggap adil, jika menjalankan
kewajiban. Sangat tidak adil, jika hanya rakyat yang dapat dikenai sanksi represif
atas kesalahannya.
2.6 Moralitas Dalam
Menjalankan Hukum
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman
99 menjelaskan bahwa, hokum itu suatu yang mulia, dan
oleh karena itu, pengelolanya pun harus bermartabat. Mengelola hukum sebagai
unit nilai, tidak bisa disamakan dengan mengelola barang rongsokan yang kapan
saja bisa dipakai atau dibuang tanpa perlu dipersoalkan secara moral. Dalam
hukum, ada nilai-nilai yang perlu di hormati dan dirawat , sehingga tidak bisa
dengan sesuka hati diabaikan atau manipulasi. keharusan menghormati dan merawat
nilai kebenaran,nilai kebaikan,dan nilai keadilan sebagai nilai hakiki dalam
hukum itulah yang mengharuskan adanya moralitas berhukum.Secara normatif,
moralitas diwajibkan (kerana tanpa moralitas seseorang sulit bertumbuh menjadi
seorang individu manusia yang dapat menyempurnakan diri terus-menerus). Dari
sisi ini, moralitas adalah prinsip yang harus di jalankan tanpa tawar-menawar
agar seseorang layak di sebut sebagai manusia.
Dilihat secara filosofis , kondisi
dekadensi moral membawa orang kepada minimal dua keadaan. Pertama, keadaan immoral (yaitu sadar tentang norma-norma moral, tetapi bertindak
menentangnya ). Kedua, keadaan amoral (yaitu
hilangnya kesadaran tentang adanya nilai-nilai baik dan buruk ). Seorang immoral adalah mereka yang berniat dan
berbuat jahat, tetapi seseorang yang amori sama yinggi tarafnya dengan zombie,
yang masih manusia secara fisik , tetapi tidak lagi secara kewajiban, karena
masalah baik-buruk tidak lagi relavan untuk dirinya.Prinsipi-prinsip moralitas
tersebut, sangat bermanfaat bagi pelaksanaan hukum yang bermartabat .
prinsipi-prinsip dimaksud merupakan kebajikan dalam berhukum. Hukum membutuhkan
kebajikan , sebab ia adalah alat yang butuh sentuhan manusia.Ini merupakan
adanya kesadaran mengenai hukum hal yang dianggap utama itu sendiri, dan atas
kesadaran tersebut, muncul kewajiban/komitmen untuk menjalankannya. Maka
kepastian hukumpun, harus diusahakan sebagai “kepastian yang berkeadilan “ . manfaat hukum juga, harus diusahakan
sebagai manfaat yang berkeadilan.
1. Kehormatan
Kehormatan,
harus dianggap sebagai prinsip moralitas yang utama dalam menjalankan hukum.
Tanpa idealisme menjaga kehormatan, maka seorang penegak hukum mudah jatuh
dalam godaan. Hidup hormat, adalah mampu menjaga integrasi , setia pada tugas ,
peka pada tanggungjawab , tidak korup, dan sebagainya.Definisi, profesionlisme
mengadaikan minimal dua hal prinsip. Pertama,
suatu aktivitas kerja yang harus didasari oleh keahlian yang amat tinggi
dan khusus. Kedua, seorang
professional juga harus sanggup bekerja atas dasar adanya itikad mulia yang
biasanya dinyatakan lewat suatu ikrar atau sumpah dimuka umum (to profess ) untuk merealisasi moral
kebijakan yang dijungjung tinggi oleh masyarakat.Mengenai pengadilan sebagai
lembaga yang mulia, maka kehormatan itu menuntut tanggungjawab sebagai pengadil yang menempatkan kebenaran dan
keadilan sebagai ukuran tertinggi keputusannya.
2. Tanggung-jawab
Tanggungjawab
boleh dikatakan, menjadi salah satu roh yang bisa membuat hukum hadir secara
bermakna. Maka seperti dikatakan Sigit pamungkas penegakan hukum telah
dimanipulasikan begitu rupa sehingga keadilan hampir terbunuh atas nama
penegakan hukum. sebenarnya, tidak hanya keadilan yang terbunuh, tetapi hukum
itu sendiri terbunuh dalam penegakannnya.Mafia hukum sering disebut sebagai
penyebab institusi hukum tidak setia membela keadilan.
3. Officia Virtutis
Officia
Virtutis, adalah prinsip etika tentang
tugas. Secara etis, setiap tugas bernilai kewajiban. Karenanya disebut etika kewajiban. Para ahli pikir
mengaitkan kewajiban dengan keadilan, lewat apa yang disebut “ko-eksistensi
etis berdasarkan kewajiban”. Officia
Virtutis, kiranya dapat membantu aparat penegak hukum dari kemungkinan penyalahgunaan
kekuasaan. Dengan kata lain, bagi aparat berperang teguh pada kewajiban tugas
atau moralitas tugas, maka tawaran apapun nama nya, akan selalu diuji di
hadapan kewajiban tugas. Jadi, penghayatan terhadap tugas sebagai kewajiban,
menjadi hal yang penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Dengan
begitu, mereka menjalankan kekuasaan dalam aura kebenaran dan keadilan.
4.
Epiekeia
Epiekeia merupakan prinsip etis dalam
menjembatani jurang antara aturan umum dan tuntutan untuk berbuat konkret dalam
situasi khusus. Epiekeia ini dituntut
manakala keutamaan yang ada dalam hukum menjadi taruhan. Epiekeia secara lahiriah tampak seperti melanggar hukum, tetapi
sesungguhnya merupakan usaha untuk memenuhi tuntutan terdalam dari hukum, dan
tidak sekedar ketaatan formal terhadapnya. Epiekeia
merupakan benteng nilai kebaikan hukum.
2.7 Moral Habit
Dalam buku (2014), Moralitas Hukum, halaman
123 menjelaskan bahwa,Moral habit formation atau pembentukan kebiasaan-kebiasaan
yang menerjemahkan nilai-nilai baik-buruk ke dalam tingkah laku sosial.
Pembentukan kebiasaan itu dapat dilakukan melalui berbagai cara, hanya akan di
bahas tiga cara. Pertama adalah keteladanan, Kedua adalah memperkuat mekanisme reward and punishment yang dijalankan berulang-ulang dengan cara konsisten.
Ketiga adalah keberanian moral pemimpin atau institusi untuk bertanggungjawab
atas perilaku anggota atau bawahannya.
Dengan singkat, kalau mereka
baik, mereka adalah anggota institusi , sedangkan kalau mereka bersalah maka
mereka adalah orang - perorangan. Dengan
asumsi seperti itu, maka institusi selalu dianggap benar, sedangkan kesalahan
anggotanya akan dianggap bersifat non-institusional dan hanya bersifat
individual. Jadi, kalau institusi dianggap selalu tidak terlibat dalam
kesalahan dan penyelewengan para anggotanya, maka selayaknya institusi juga
tidak bisa mengklaim keberhasilannya. Semua ini harus juga dianggap sukses
orang-perorangan. Sebetulnya pola ini bukanlah suatu hal yang luar biasa,
tetapi merupakan konsekuensi logis belaka dari kepemimpinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar